Jakarta - Sidang paripurna DPR akhirnya mengesahkan UU Minerba. Meski diwarnai aksi walk out dari tiga fraksi, yaitu FPAN, FPKS, dan FPKB, RUU Minerba yang digodok sejak 3,5 tahun silam akhirnya disahkan.
Apa sebenarnya yang ada di dalam UU Minerba ini? Mengapa begitu kontroversial hingga akhir pengesahannya?
Berikut kutipan beberapa kontroversi seputar UU Minerba:
Kontrak Karya, PKP2B dan Masa Peralihan
Dalam UU Minerba pasal 169 pasal a, disebutkan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelumn berlakunya UU ini akan tetap berlaku sampai jangka waktu berakhirnya kontrak maupun perjanjian.
Sementara pada pasal b, disebutkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B harus disesuaikan paling lambat 1 tahun setelah UU diberlakukan, kecuali terkait penerimaan negara. Penerimaan negara yang dimaksud adalah upaya-upaya peningkatan penerimaan negara.
Kedua pasal ini dinilai sangat membingungkan. Di satu sisi, UU ini memperbolehkan KK dan PKP2B yang sudah ada tetap berlaku hingga masa kontrak atau perjanjiannya selesai. Tetapi dalam menjalani sisa berlakunya, ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan perjanjian harus disesuaikan dengan UU yang baru.
Menurut Ketua Umum Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Irwandy Arif, ketentuan aturan peralihan yang tercantum dalam draft UU Minerba tersebut menyimpang dari hakikat aturan peralihan.
"Aturan peralihan seharusnya memberikan kepastian hukum. Tapi ketentuan tersebut membingungkan, di satu sisi mengakui dan menghormati jangka waktu kontrak/perjanjian, akan tetapi di sisi lain substansi kontrak/perjanjian disesuaikan dengan UU baru, kecuali berkaitan dengan penerimaan negara. Artinya dengan kata lain ketentuan peralihan memaksa para pihak untuk mengubah kontrak/perjanjian," katanya dalam keterangan pers beberapa waktu lalu.
Kedua pasal tersebut memang terkesan kontradiktif. Di satu sisi, pasal a ingin memberikan kepastian hukum bagi perusahaan yang sudah berkontrak atau berjanji. Ini penting untuk menunjukkan kepastian iklim bisnis di Indonesia.
Tetapi di sisi lain, pasal b mengharuskan seluruh ketentuan kontrak dan perjanjian yang sudah ada agar disesuaikan dengan UU Minerba. Bagaimana mau memberi kepastian kalau ketentuannya berubah?
Pertanyaan lainnya adalah, bagaimana jika perusahaan tambang yang mengantongi kontrak dan perjanjian tidak bersedia mengubah kontrak ataupun perjanjiannya? Seperti diketahuui, dalam kontrak dan perjanjian yang dibuat pemerintah dengan perusahaan tambang, kedua pihak memiliki posisi yang sama sebagai pelaku kontrak/perjanjian.
Lalu bagaimana jika perusahaan tambang keberatan mengubah isi kontrak? Apakah ini akan menimbulkan potensi sengketa yang bisa berujung pada arbitrase? Hingga saat ini baru PT Freeport yang menyatakan bersedia mengikuti arus UU Minerba.
IUP, IPR, dan IUPK
Rezim kontrak dan perjanjian memang sudah berakhir dan kini digantikan dengan rezim perzinan. Dalam pasal 35, usaha pertambangan dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dalam pasal selanjutnya (36) dijelaskan bahwa IUP terdiri dari dua tahap, yaitu IUP eksplorasi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Sementara IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
IUP bisa dikeluarkan oleh bupati/walikota jika dalam satu wilayah kabupaten/kota, gubernur jika wilayahnya berada di lintas kabupaten/kota, dan menteri jika wilayahnya berada di lintas provinsi. IUP bisa diberikan kepasa badan usaha, koperasi, maupun perseorangan.
Masa berlaku
Masa berlaku IUP eksplorasi berbeda-beda. Untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu maksimal 8 tahun, untuk pertambangan mineral bukan logam 3 tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu 7 tahun. IUP eksplorasi pertambangan batuan dapat diberikan dalam 3 tahun, dan pertambanhan batubara 7 tahun.
Semantara masa berlaku IUP produksi terbilang lebih panjang antara 5-20 tahun. Setiap pemegang IUP eksplorasi dijamin memperoleh IUP operasi produksi sebagai kelanjutan usaha pertambangannya.
Luasan wilayah
IUP eksplorasi mineral logam bisa mendapat luas wilayah antara 5.000-10.000 hektar, dan 25.000 untuk IUP produksinyanya. IUP eksplorasi mineral bukan logam bisa mendapat wilayah seluas 500-25.000 haktar dan maksimal 5.000 hektar untuk IUP produksinya.
IUP eksplorasi batuan bisa mendapat wilayah seluas 5-5.000 hektar dan maksimal 1.000 hektar untuk IUP operasi produksi batuannya. IUP eksplorasi batubara bisa mendapat luas wilayah antara 5.000-50.000 hektar dan maksimal 15.000 haktar untuk IUP operasi produksinya.
Sementara IPR, merupakan izin pertambangan untuk skala yang lebih kecil. IPR bisa dikeluarkan oleh bupati/walikota atau bahkan camat. Luas wilayah yang bisa diberikan pun lebih kecil. Untuk perseroan hanya mendapat maksimal 1 hektar, kelompok masyarakat mendapat maksimal 5 hektar dan koperasi maksimal 10 hektar.
Hal ini cukup mengundang argumen dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) karena dinilai membuka kemungkinan adanya aksi cepat-jual-murah. Ketika izin bisa dikeluarkan hanya di tingkatan bupati, atau bahkan camat, mereka bisa berlomba-lomba mengeluarkan izin pertambangan tanpa memperhitungkan masalah lingkungan.
“Di lapang, pasal-pasal UU Minerba akan menambah carut marut dan memperparah konflik agraria. UU ini menguatkan ego sektoral, melalui lahirnya Wilayah Pertambangan,” kata Koordinator Nasional Jatam Siti Maimunah dalam siaran persnya, Kamis (18/12/2008).
Sedangkan untuk IUPK hanya bisa diberikan oleh menteri. Sama seperti IUP, IUPK juga ada dua tahap yaitu IUPK ekplorasi dan IUPK operasi produksi.
Wilayah untuk IUPK eksplorasi tambang mineral logam maksimal seluas 100.000 hektar dan 25.000 hektar untuk IUPK operasi produksinya. Sedangkan luas wilayah IUPK eksplorasi batubara maksimal 50.000 hektar dan 15.000 hektar untuk IUP operasi produksinya.
Jangka waktu IUPK eksplorasi mineral logam dapat diberikan maksimal 8 tahun dan 7 tahun untuk IUP eksplorasi batubara. Sementara IUPK operasi produksi mineral logam dan batubara diberikan paling lama 20 tahun dan dapata diperpanjang 2 x 10 tahun.
Pendapatan Negara dan Daerah
Dalam pasal 129 UU Minerba, pemegang IUPK operasi produksi pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar 4% ke pemerintah dan 6% ke daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi.
Bagian pemerintah daerah tersebut dibagi untuk pemerintah provinsi sebesar 1%, pemerintah kabupaten/kota penghasil sebesar 2,5% dan kabupaten atau kota lainnya sebesar 2,5% juga.
Dengan disahkannya UU Minerba ini, berakhirlah rezim kontrak dan perjanjian, yang kemudian diganti dengan rezim perizinan. Ada yang setuju, tapi ada juga yang tertegun.
Seperti Rio Tinto yang semula berharap bisa mengantongi Kontrak Karya untuk menambang nikel di Lasamphala, Sulawesi Selatan. Harapan Rio Tinto itu kini belum bisa dipastikan apakah masih bisa diraih atau sudah tak mungkin.
“Kami sedang mempelajari UU Minerba ini dengan seksama. Kami tetap berkomitmen untuk melaksanakan proyek nikel Sulawesi, as long as it is economically and commercially feasible,” katanya dalam pesan singkat yang diterima detikFinance, Kamis (18/12/2008) malam.
Rio Tinto yang berencana investasi hingga US$ 2 miliar sebenarnya kini sudah menyelesaikan proses izin dari pemerintah daerah. Perusahaan ini pun sudah menyelesaikan sistem pajak dengan pemerintah pusat.
Kalau sudah begini, apakah UU Minerba bisa menjadi kemajuan atau justru kemunduran bagi dunia pertambangan di Indonesia? Kita lihat saja nanti.
(Alih Istik Wahyuni - detikFinance)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment